10-14 Agustus 2017
Benteng Vredeburg,
Yogyakarta
Rendaman
tersebut berwarna gelap dan berbau agak menyengat, hasil direndam semalaman. Sejak
pertama melihatnya, saya penasaran kegunaan dan cara membuatnya. Beruntung, seorang
bapak baik hati (yang saya lupa tanya namanya -__-) menjelaskan kepada saya
tentang ini dan itu.
Balai
Pelestarian Cagar Budaya mengajarkan saya banyak hal malam itu. Mulai dari
konservasi kayu, batu, perunggu, hingga logam. Konservasi merupakan
pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan
dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan; pengawetan; pelestarian (KBBI). Nah,
konservasi kayu yang telah saya singgung di atas merupakan cara konservasi yang
ramah lingkungan.
Caranya,
menggunakan perbandingan 1:1 dari tembakau, cengkeh, dan pelepah pisang (yang
sudah dikeringkan), diberi air, kemudian direndam semalaman. Lebih dari semalam
juga boleh. Kemudian, digosokkan ke kayu. Cara ini bisa membuat kayu menjadi
lebih halus dan tahan rayap.
Tak
hanya kayu, bapak tersebut juga menjelaskan tentang konservasi batu. Konservasi
tersebut dilakukan untuk merawat candi-candi. Arca yang rusak atau patah, bisa
disambung kembali dengan lem batu. Relief yang usang dibersihkan dengan
berbagai racikan. Bedanya, racikan untuk konservasi batu menggunakan campuran bahan-bahan
kimia.
Asik
juga ternyata belajar tentang konservasi. Bisalah kapan-kapan dicoba. Siapa tau
ada hati yang patah, butuh dirawat dan dipelihara. Haha!
Nah, selain tentang konservasi, saya juga berkunjung ke
stand-stand lain yang menarik. Menemukan stand yang memiliki manuskrip Babad
Majapahit (edisi repro). Sebagai orang Jawa, saya sok-sok’an mencoba membaca
manuskrip tersebut. Hasilnya seperti anak kecil yang masih a, b, c saja terbata-bata.
Kenapa tulisannya tidak bisa terbaca jelas......
Selanjutnya,
menemukan mesin ketik ter-gemas yang pernah saya temui selama hidup. Biasanya
mesin ketik memiliki huruf alfabet di atasnya, nah, kalau yang ini dengan
aksara jawa! Asik nggak sih! Rasanya pengen nyobain ngetik~
Stand kuliner
juga tak kalah serunya. Ada berbagai macam kuliner lokal. Saya mengincar bir
jawa, tapi ternyata sudah habis. Jadinya beralih ke es dawet. Ntap lah,
nostalgia kembali ke masa lalu bersama Festival Yogyakarta Tempo Doeloe~
Comments
Post a Comment