Different is Beautiful



Bibir bergincu merah itu tersenyum melihat kedatanganku. Siang ini, ia menguncir rambut panjangnya tinggi-tinggi. Meski tak lagi muda, tanktop putih dan celana jins ‘gemes’ merupakan setelan favoritnya. Saya memasuki ruangan sebesar kurang lebih 4x3.5 meter itu dan menunjukkannya sebuah foto wanita dengan rambut pendek. Ia mengangguk tanda mengerti dan segera memangkas rambutku seperti wanita difoto itu.
Namanya Niniek, Salon Niniek nama tempatnya. Sebuah salon di Turisari langganan potong rambut sejak sekolah hingga sekarang (sudah lulus kuliah). Meski bicaranya terbata-bata, ia sangat handal dalam hal memotong rambut. Potongannya sangat rapi dan detail. Setiap selesai memotong rambut pelanggannya, ia memandang cermin kemudian tersenyum sambil menggangguk-angguk puas.
Istilah difabel berasal dari akronim different abilities people, berarti orang yang memiliki kemampuan berbeda. Adanya istilah tersebut seakan mengajak masyarakat untuk tidak memandang kondisi cacat atau tidak normal sebagai kekurangan. Meski memiliki kondisi fisik dan kemampuan yang berbeda, mereka (kaum difabel) mampu melakukan aktivitas dengan cara dan pencapaian sesuai cara mereka sendiri.

Foto bersama di Balai Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Dr. Soeharso
Umumnya, para penyandang difabel ingin dilihat sebagai orang yang mandiri. Seperti Niniek yang bekerja dan dapat mempunyai penghasilan sendiri. Begitu pula ketika saya berkunjung ke Balai Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Dr. Soeharso. Saya membantu teman untuk membagikan kuesioner yang akan diisi oleh anak-anak di sana. Ketika saya menawarkan bantuan untuk menuliskan nama dan sebagainya, salah satu diantara mereka berkata, “Aku iso dewe," dengan suara tegas.
Semula yang kukira tidak bisa melakukannya karena keterbatasannya, ternyata bisa. Mereka memang luar biasa. Selanjutnya kami bercakap-cakap dan bercanda bersama. Lucu, asik, meski memang ada beberapa yang minder karena keadaannya.
Keinginan mereka untuk dilihat sebagai pribadi yang mandiri sudah sepantasnya diapresiasi dengan cara tak memandang mereka sebelah mata. Beberapa komunitas di Kota Solo pun tergerak untuk mengedukasi masyarakat tentang difabel. Beberapa komunitas tersebut seperti Gerkantin (Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia), Gapai (Gerakan Peduli Indonesia Inklusi), dan sebagainya. Baik Gerkantin maupun Gapai cukup sering mengadakan acara atau mengikuti event tertentu untuk mengedukasi masyarakat tentang difabel, seperti ketika Festival Anak ataupun acara di kampus. 


 Belajar mengeja dengan jari. Saya mendapatkan brosur alfabetnya di stand Gerkantin
ketika acara Festival Anak 2015 yang diadakan di Balaikota Solo, Sabtu (01/08).
Adanya edukasi kepada masyarakat tentang difabel perlahan-lahan akan mengingkatkan kesadaran bahwa kita semua sama dan setara. Tak ada lagi diskriminasi. Sekolah-sekolah di Kota Solo perlahan membuka pelayanan pendidikan inklusi. Begitu pula dengan fasilitas umum, seperti trotoar yang dilengkapi jalur khusus difabel.
Kedepannya, semoga masyarakat bisa semakin teredukasi tentang difabilitas, menghargai perbedaan yang dimiliki mereka, dan fasilitas umum semakin ramah bagi difabel. Dunia tentunya akan lebih indah jika satu sama lain bisa saling menghargai perbedaan yang ada sehingga akhirnya semua dapat tersenyum ceria sambil mengangguk-angguk puas.

#kitasetara

Comments