“Musuh utama bagi manusia adalah
dirinya sendiri.”
Foto dok. Sahabat Kapas
Bulan September lalu, saya bersama teman-teman
dari Sahabat Kapas pergi melepas penat ke Pantai Sadranan, Yogyakarta. Yang saya pikirkan
tentang pantai adalah bermain pasir, membuat gundukan-gundukan, menimbun kaki
sampai tertutup semuanya, bermain-main dengan air, dan hal-hal lain yang simpel-simpel.
Saya tak pernah berpikir akan melakukan sesuatu yang belum pernah saya lakukan
sebelumnya. Snorkeling.
Berenang bukanlah keahlian saya, bahkan berada
di air setinggi paha saja saya sudah mlipir-mlipir menjauhinya. Singkatnya,
saya takut air. Berhubung di Pantai Sadranan ternyata menyediakan persewaan
alat snorkeling dan teman-teman Sahabat Kapas ingin mencoba, saya pun ikut
saja. Kami memakai rompi pelampung, sepatu, dan alat snorkeling sesuai
instruksi yang diberikan oleh mas-mas snorkeling. Pemanasan singkat pun
dilakukan agar badan tidak kram ketika masuk ke dalam air.
My head's under water, but I'm breathing (not really) fine~
Foto dok. Sahabat Kapas
Setelah
persiapan selesai, kami mulai mendekat ke air dan menyelam. Saya berkali-kali
berkata kepada beberapa teman dan mas-mas snorkeling bahwa saya tidak bisa
berenang. Beberapa dari mereka menanggapi bahwa mereka juga tidak bisa
berenang, namun nyatanya mereka bisa mengambang di air dan leluasa bergerak
kesana-kemari. Dengan muka panik saya mendekati mas-mas snorkeling dan meminta
untuk diajari.Bisa? Jelas sulit. Saya memfokuskan diri melihat ke bawah air dan berkali-kali berkata kepada diri sendiri, “Jangan panik, jangan panik. Ini air, ini cuma air.. blrrrpp.. blrrrpp.. (kemudian tenggelam).” Berhubung salah satu teman membawa kamera underwater, teman-teman yang lain berfoto-foto ria jauh di sana, sementara saya masih di dekat bibir pantai belajar agar tidak panik. Sekitar tiga jam lamanya kami bermain air. Tiga jam lamanya juga saya berusaha untuk bisa seimbang, melihat ke dalam air, dan (sekali lagi) tidak panik.
Menepi setelah setelah lelah terbawa arus.
Foto dok. Sahabat Kapas
Sepulang
dari sana, teman-teman banyak cerita tentang kekonyolan saya ketika berada di
air. Mulai dari kesulitan bergerak maju, terseret arus air dari tengah hingga
ke pinggir, tidak bisa seimbang ketika berdiri di air, dsb. Saya yang
mendengarnya ikut tertawa, membayangkan seperti apa wajah saya ketika semua itu
terjadi, pasti konyol sekali. Tapi setidaknya, sekarang saya tau, saya sudah
tidak begitu takut air lagi.Beberapa bulan setelah pengalaman itu, teman sekolah saya semasa SMA mengajak saya untuk pergi ke kota tempatnya menempuh pendidikan tinggi. Saya dan dua teman perempuan saya pergi menuju ke Gili Labak, Madura. Perjalanan ditempuh mulai dari Solo, Surabaya, Madura, Sumenep, kemudian menyeberang dengan kapal kecil ke Gili Labak. Oke, ini perjalanan menyeberang pulau pertama kali dan saya rasa saya menyukainya. Terbukti dengan tidak mabuk laut dan girang sekali menatap laut yang luas dengan sinar matahari yang perlahan mulai turun ke bumi.
Bersiap menyeberang ke Gili Labak.
Foto dok. pribadi
Berbeda
dengan sebelumnya, kali ini saya sangat sangat sangat bersemangat untuk segera
memakai pelampung, alat snorkel, kemudian masuk ke dalam air. Namun sayang, karena
masih pagi (pukul 09:00), air masih pasang. Mas-mas snorkeling di sana berkata akan
lebih baik jika pergi snorkeling ketika air mulai surut, daerah yang memiliki
batu karang bagus akan lebih mudah dilihat tanpa harus berenang jauh dengan air
yang dalam. Aku dan dua temanku memutuskan untuk pergi berjalan melihat-lihat
pulau.Gili Labak adalah pulau yang indah. Memiliki pasir lembut, air laut yang nampak biru bening, langit biru bersih, dan sinar matahari yang menyengat. Sebagai orang yang jarang-jarang bisa pergi ke tempat seperti ini, saya bersyukur ada kesempatan ini. Seneng bett rasanya.
Gili Labak. Pantai dan pulau paling indah yang pernah saya kunjungi.
Foto dok. pribadi
Tiba
ketika saat udah-pengen-segera-snorkel, saya dan teman-teman segera memakai
perlengkapan yang ada. Mas-mas snorkel sudah berada di pantai entah bagian mana
untuk menemani, memantau, dan mempotret teman-teman yang lainnya. Saya dan dua
teman saya mencari mas-mas snorkel untuk ikut ditemani, dipantau, dan (tentu
saja) dipotret. Kami bertiga akhirnya menemukan mas-mas snorkel yang kami cari.
Saya lupa namanya, saya hanya ingat wajah dan baju yang ia pakai. Ia memakai
baju warna coklat.Mas-mas berbaju coklat itu menanyai kami apakah kami menguasai teknik dasar berenang. Saya tentu saja langsung menggeleng kuat-kuat. Saya memintanya memberi contoh untuk berenang maju dan saya mengikutinya. Sebisa saya. Untuk mencapai spot foto ternyata sangat tidak mudah. Jauuuh dan saya kesulitan bergerak maju, apalagi dengan air yang semakin lama semakin tinggi dan kaki yang sudah tidak lagi bisa menapak ke dasar air.
Good morning, sunshine.
Foto dok. pribadi
Selesai berfoto, iseng iseng saya
berenang ke sana sini untuk menghampiri teman saya yang telah berenang jauh.
Semakin lama saya semakin sadar kalau saya terlalu jauh. Kemudian air sudah
lebih tinggi dari tinggi badan saya. Tenaga juga sudah mulai menipis dan ini
adalah pertanda saya akan kembali melakukan kebiasaan buruk saya. Pa-nik.
Pandangan mata yang tertutup oleh
embun di kacamata snorkel membuat saya hanya bisa melihat sekitar secara
samar-samar. Mas-mas berbaju coklat terlihat melambai lambaikan tangan
kepadaku, seakan menyuruhku untuk menepi karena sudah terlalu jauh. Namun,
kenyataan yang terjadi adalah gerakan tangan saya untuk berenang maju seakan
tidak berguna. Sekuat saya mencoba untuk bergerak maju, saya tetap mengapung
diam, bahkan semakin menjauh dari pantai. Oke, saya melihat ke bawah sejenak
untuk menikmati indahnya baru karang, berusaha mengalihkan pandangan dari
kepanikan.
Teman-teman rombongan.
Foto dok. pribadi
Satu menit kemudian saya mencoba berenang lagi
dan gagal. Saya fix, lima menit lagi tenggelam. Tak jauh dari saya ada
segerombolan anak laki laki. Ingin rasanya melambai-lambai untuk meminta
bantuan, tapi….. saya mengurungkan niat. Semakin lama semakin lelah dan lapar.
Untungnya, tiba-tiba mas-mas berbaju coklat sudah berada di samping saya.
Sambil setengah tertawa, ia bertanya,
“Capek?”
Saya menjawabnya dengan anggukan kepala. Tanpa
babibu, ia menyeret rompi pelampungku untuk ke pinggir.
“Kalo capek, rompimu copot aja, kakinya napak terus
jalan ke sana.”
Ketinggian air saat itu sebatas leher. Saya
memegang rompi kuat-kuat dan menggeleng.
Mas-mas berbaju coklat mendahuluiku untuk berenang ke tepian, sementara saya
kembali berusaha untuk mencapai daratan. Sesampainya di atas pasir, saya
berbaring menikmati matahari sambil ngos-ngosan bermenit-menit kemudian.
Tertidur di atas sini dengan nyenyak setelah lelah mengapung di air.
Foto dok. pribadi
Kedua pengalaman di atas mengajarkan
saya tentang banyak hal. Terutama untuk mengatasi rasa takut, rasa panik,
pantang menyerah, dan sebagainya. Tanpa rompi pelampung yang diikat kuat di
badan apalah aku ini, tapi jika suatu saat ada teman yang mengajak saya untuk
kembali ke sana atau entah ke mana yang ada airnya, saya tak akan berpikir dua
kali. “Sea, I’m coming..” *kemaki* *terus
tenggelam lagi* blrrrpp.. blrrrpp.. lol
Comments
Post a Comment